NOVEL PERTAMAKU BAGIAN 1
“kita ber-revolusi pung-pung kita masih muda,
kalau sudah tua buat
apa.”
I
Dari madiun ke lubang buaya.
Cukup
jauh juga jarak antara
desa lubang buaya dengan lapangan
lubang buaya yang biasanya dijadikan dropping
zone untuk latihan penerjunan prajurit-prajurit AURI. Apalagi jika di
tempuh hanya dengan berjalan kaki. melewati jalan pondok gede,lalu masuk ke
kawasan halim. Bisa juga sih di tempuh dengan menyusuri pinggiran kali
sunter,tapi ga di jamin bisa sampai atau tidak.
Inilah jarak yang setiap hari di tempuh oleh Dipa Negara. Anak lelaki
berusia 15 tahun yang saban hari pergi ke desa lubang buaya untuk mengikuti latihan
tempur bersama teman-temannya. Mereka
mengikuti sebuah proyek politik yang sedang di galang oleh paduka yang mulia
Soekarno dalam rangka persiapan 20 juta relawan-relawati untuk menghadapi
konfrontasi dengan bangsa bangsa Nekolim di ujung pulau kalimantan.
Dipa memiliki seorang
abang yang menjadi prajurit udara dan menempati sebuah rumah sederhana di
kompleks perumahan pasukan pertahanan pangkalan(PPP). Karna itulah, setiap dipa
selesai perang-perang’an ia lalu berjalan cepat ke dalam halim untuk pulang ke
rumah si abang.
‘’gimana latian tadi dik? Apa pemuda-pemuda Anshor
sudah ikut ber-gabung?’’ sang abang langsung mencocornya dengan pertanyaan.
‘’belum juga aye duduk,udah nyerocos lu bang,capek
banget ni.’’ Dipa nyelonong masuk ke rumah,lalu buru-buru membuka baju dan
celana katunnya.
‘’aye,mau berak
dulu ye bang!’’teriak dipa sambil berlari.
Sang abang hanya menggeleng-gelengkan kepala-nya. namun
di paksakannya juga untuk tersenyum. Dipa adalah keluarga satu-satunya yang
kini ia miliki. Keluarga mereka secara turun temurun berasal dari solo. Namun kemudian
sang ayah mendapat tugas baru untuk menjadi mantri di madiun. Mereka sekeluarga
pun ikut pula ke sana. Tentunya. Ketika terjadi affair madiun 1948,mereka
segera kabur ke Jogyakarta. Tapi tidak
lengkap,karna sang ayah dan abang tertua sudah lebih dulu menjadi tumbal amarah
pasukan Front demokrasi Rakyat(FDR)/PKI. Seharusnya mereka tidak perlu di
korbankan jika saja sang ayah tidak ikut petantang
petenteng bersama se-gerombolan kyai kaya pemilik tanah untuk mengangkat
golok dan mencaci maki kamerad musso di madiun.
Di awal tahun 1950,sang
ibu menikah lagi dengan seorang prajurit ngganteng
mantan pasukan KNIL yang di tahun 1948 ikut pula dalam pasukan siliwangi
dalam agresi menghajar tentara merah di madiun. Si ngganteng yang sekarang sudah menjadi letnan kolonel Angkatan Darat
itu lalu memboyong ibu ke Djakarta. Di sana si ibu berhasil melahirkan seorang
anak. Si Ibu keturunan ninggrat keraton solo,jadi pastilah ia berwajah ayu,bila
di campurkan dengan si ngganteng yang
memang ganteng,bisa di bayangkan keturunan mereka pasti berhasil. Karna itulah tadi kita sebut si ibu berhasil melahirkan seorang anak,lelaki pula.
‘’dik,siap makan malam,pergi kau ke rumah om sugeng ya.
Tidur saja kau di sana.’’ Si abang berteriak dari balik kamarnya.
‘’eh,eh,emang napa?kagak boleh gue nginep di sini
lagi?’’kepala dipa nongol dari balik pintu kamar mandi.
‘’heh!punya mulut di jaga! Aku ada rapat nanti malam
di luar,lebih baik kau menginap di rumah om daripada sendirian di sini.’’si
abang keluar kamar dan memakai sepatunya.
‘’ah,kagak dah. Elu pergi aja sono. Gue sendirian juga
kagak papa,kagak takut gue ama ape-ape.
Percuma gue udah jadi prajurit sekarang’’dipa terkikik dan menyoraki si abang
dari dalam kamar mandi.
Si abang sudah malas menjawabi kata-kata badung
adiknya itu. ia berdiri dengan muka berkerut dan nyelonong keluar tanpa
mengucapkan apa-apa lagi. Ia sudah hafal peringai adik-nya. Ntah dari mana
ke-keras kepala’an-nya datang. Apalagi semenjak ia bergabung dengan teman-teman
barunya di lubang buaya,eh,sudah pula dia berlagak menjadi anak jakarte dengan logat betawinya.
Di halaman rumahnya yang sempit dan di penuhi daun
mangga kering yang mati terpanggang matahari, Ia menaiki sepeda-nya yang
tergeletak lesu di sana dan di kayuhnya cepat-cepat gazelle buatan belanda-nya
itu.
Hari sudah mulai me-ng’emas,daun-daun cemara yang
berjatuhan dan menutupi jalan membuat paduan keindahan alam semakin semarak.
Di tambah lagi aroma tubuh yang baru selesai mandi
membuat alam fikir-nya melayang kemana-mana.
Sempat ia membayangkan tubuh sang gadis anak kolonel
yang di idam-idam kannya selama ini,namun khayalan indahnya bubar ketika ia
ingat akan jam tangan rolexx peninggalan sang ayah yang tertinggal di rumah.
‘’sialan’’ makinya dalam hati. Ia menghentikan sepedanya,melihat ke
belakang,lalu kembali mengayuh sepedanya lagi. ‘’ah,sudahlah’’ pikirnya. Dia
malas bertemu dengan adik-nya yang badung itu. Sekarang ia terpaksa melupakan
bayangan gadis idamannya,karna wajah sang adik terlihat menjulurkan lidah dan
terkikik-kikik di dalam kepalanya.
Ia jadi teringat,saat ia berusia 10 tahun-lah ia di tinggalkan oleh ibunya di
jogja. Sementara sang ibu bersenang-senang dengan prajurit ngganteng-nya,ia harus berkeliling kota menjadi pengemis.
Memang,ia di tinggal-kan sang ibu di rumah adik
perempuan dari ayahnya. Namun di masa awal pembentukan R.I yang serba sulit
itu,sang bibi pun tak mampu mengurus ke lima anaknya,bahkan sekedar memberi
makan. Apalagi di tambah dengan kehadirannya. Maka,Selama berbulan-bulan ia
berkeliling untuk mengemis atau mengais sisa-sisa nasi di pinggiran alun-alun kota
jogja. Namun nasibnya berubah 180 derajat ketika ia bertemu dengan seorang
major udara yang sedang bertugas di jogja. Ia lalu di jadikan kacung dan
penuntun sang major selama berada di jogja. Sikapnya yang baik dan jujur
membuat sang major menyukai-nya. Saat sang major akan pulang kembali ke
Jakarta,ia di ajak turut serta dan di janjikan untuk bisa menjadi prajurit
udara. Alangkah senang hati-nya.
Major itu kini telah menjadi kolonel udara dan
bertempat tinggal di dalam kompleks halim juga. Terlalu banyak hutang budinya
kepada mantan major itu. Sang Kolonel jugalah yang mengatur jalan agar ia bisa
menjadi seorang prajurit AURI,hingga sekarang ia telah mendapat pangkat Sersan
udara di usia-nya yang baru 25 tahun. Sebuah karir yang gemilang tentunya.
Kini ia telah sampai di jalan ber-kerikil di sekitar
kantor PUSKOM,dan melihat beberapa prajurit sedang berlari-lari sore dengan
gembira. Ia melambaikan tangannya kepada mereka.
‘’duluan ya mas’’ katanya sambil tersenyum.
Ah,setiap ia melewati daerah ini,ia jadi teringat
kembali dengan sang ibu. Ya,sang ibu namun tanpa lelaki ngganteng di sisinya. Sang ibu yang kuyu,dan pucat, dengan seorang
anak kecil berdiri malu-malu dan selalu bersembunyi di sisinya. Dan di hari itu
lah untuk terakhir kalinya ia bertemu dengan ibunya,ibunya yang akan menyusul
si ngganteng ke sumatera barat untuk
ikut pemberontakan PRRI dan mati di tumpas oleh kolonel yani dan pasukan
elit-nya,mungkin.
Ia yang waktu itu masih berumur 17 tahun merasa tidak mengerti apa yang harus ia lakukan
terhadap ibunya. Kemudaan usia dan rasa rindunya membuat ia membunuh sampai
mati rasa dendam kepada sang ibu. Di tambah lagi kehadiran sang kolonel yang
baik hati-namun keras kepala- di sampingnya. Maka syah-lah,mulai hari itu ia
memiliki seorang adik yang akan menjadi tanggungan ia selamanya,hal yang sangat
menyusahkan sebenarnya. Apalagi di usianya yang baru belasan. Namun tuhan
membuktikan tidak ada yang mustahil di dunia ini jika ia berkehendak. Dan
kehendak itu berubah bentuk menjadi seorang lelaki yang biasa di panggilnya om
soegeng itu. Ya,mulai hari itu juga,sang bocah kecil itu di angkat anak oleh om
soegeng. Maka,pergilah sang ibu dengan ketenangan jiwa yang tak-akan mungkin
bisa di lukiskan dengan apapun,apalagi jika hanya melalui cerita ini saja.
Lalu ia
tinggal menatap punggung lemah sang ibu
dari kejauhan,dan tanpa sadar ia menitikkan air mata,air mata yang ia sendiri
tak tau kenapa bisa mengalir. lalu cepat-cepat ia seka air mata itu karna rasa
malunya kepada om soegeng dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kenapa mesti
malu? Ia pun tak tau.
*
II
Gadis Berbahaya
’Mau
kemana mas radja?!!’’
Si
abang yang sedang asik melamun sambil mengayuh Gazelle-nya terkaget dan hampir tercampak akibat gerakan yang tidak
stabil karna jalanan ber-kerikil yang tidak rata. Namun sukur saja,ia bisa
mengendalikan itu gazelle dan
berhenti dengan gagah beberapa langkah dari seharusnya.
Seorang
gadis berbadan kecil dengan kulit putih memakai baju panjang tanpa lengan
bermotif bunga-bunga berdiri tersenyum-senyum di depan pagar biru setinggi
perut.
‘’Hihihi,hampir
berserak ya mas?’’kikikan si gadis
meledak tanpa malu-malu.
‘’Eh,mana
mungkin. Hahahaha. Tapi Jalannya mulai rusak ni di depan rumah dea’’tangkis si
abang tak mau kalah.
‘’Ah
malu ya? ya? ya?’’
‘’Mau
kemana?kok ngebut gitu?singgah dulu yuk,udah mau magrib,kata orang tua,ga baik
magrib-magrib keliaran di jalan. Entar di gondol wewe’’ lanjut gadis itu
semakin kurang ajar.
‘’Emang
dea percaya wewe??’’si abang balas menggoda.
‘’Ga
sih,tapi udahlah yuk,sombong amat nih,si mas.’’
Si
gadis kecil membuka pagarnya dan mengamit lengan si abang kuat-kuat. Wajah si
abang memerah,ia tidak pernah bersentuhan dengan seorang gadis sebelumnya.
Memang sih,dia dan gadis bernama dea ini sudah cukup akrab,dialah yang mendapat
tugas untuk menjaga gadis kecil ini bersama anak om sugeng ketika mereka
bermain-main kemana saja. Tapi itu dulu,waktu mereka masih menjadi bocah polos
tanpa ingus. Sekarang tentu berbeda gregetnya.
‘’Di
mana om tanto de’’?si abang berbasa basi sambil meletakkan bokongnya di kursi
kayu yang berbentuk melingkar aneh di serambi rumah.
Dea
mengajak masuk ke rumah sebenarnya,namun si abang merasa segan. Saat ini waktu
magrib,walau dia jarang shalat,tapi dia tetap tau sopan santun mahkluk
ber’agama. Sukur saja keluarga dea ber’agama Kristen,kalau tidak,dia pasti
sudah di tendang keluar karna bertamu di waktu yang tak tepat buat umat islam.
‘’Papi
kan lagi di Kalimantan,grogi ya sampai lupa begitu?’’godaan dea muncul kembali.
-Ayah
dea adalah kolonel udara Soetanto-komandan I pasukan gerak tjepat(PGT)yang
telah di terjunkan di perbatasan Malaysia-
‘’Oya,
hahahaha.’’si abang tertawa dengan sangat kaku. ‘’ampun deh’’batin-nya.
‘’Mau
minum apa mas radja-ku’’?
Aih,aih,mati
kita’’pikir si abang,pake’kata’’KU’’ segala lagi.
Mulai
saat ini mari kita menyebut si abang dengan radja saja. Nama lengkap-nya adalah
Radja Putramarhaen. Ayahnya seorang soekarnois sejati,karna itulah ia di beri
nama putramarhaen,anak dari kaum marhaen. Kaum tani seluruh Indonesia.
Maka
wajar saja kalau sang ayah meledak marah di affair madiun setelah mendengar
dari corong RRI,pidato dari si bung besar yang menyuruh rakyat Indonesia untuk
memilih soekarno-hatta atau musso-amir.
‘’Oya,mas
tadi mau kemana?’’akhirnya sikap dea mulai terlihat bersahabat tanpa nada
menggoda.
‘’Mau
ke aula perjuangan. Ada pertemuan,lalu mau menginap di rumah pak Soedjono.’’
‘’Kamu
mau pergi de?kok pakai baju begini?apa ga takut di razia Pesindo’’?kali ini
malah radja yang mulai menggoda.
‘’Halah,udah
tahun kapan ni loh mas,Pesindo kan udah ganti nama.’’wajah dea terlihat
mengejek.
‘’Emang
sih,tapi kelakuan tetap sama kan?’’balasnya tak mau kalah.
‘’Sama
gimana?coba,ayo coba terangkan sama dea.’’kini dea mulai serius. Matanya
menyipit dengan rahang yang kelihatan mengeras.
Gadis
ini,di pandang dari manapun memang mempesona,pikirnya. Kulitnya putih kemerahan
namun tanpa bintik seperti gadis-gadis londo.
Rambutnya hitam sebahu dengan potongan bergaya boop. Walau tubuhnya kecil-bahkan masih ada yang menyebutnya anak
SD sekedar untuk mengejek-namun selalu sesuai dengan gaya berpakaiannya.
Hidungnya kecil namun bertulang tinggi. Dan,yang paling mempesona adalah
bibirnya,merah dan penuh seperti buah strawberry.
Di
saat si gadis kelihatan ingin mengajak berdebat,radja malah tega-teganya
mengukur kecantikan si gadis. Tapi apalah dosa’nya mengagumi keindahan mahkluk
ciptaan tuhan? Memang benar benar indah pikirnya.
‘’Ga
kok de,oya, Mas pergi sekarang boleh?takut ketinggalan rapat de.’’ lelaki memang
pintar menghindari masalah.
‘’Oh,ya
sudahlah. Hati hati ya.’’jawab dea ketus karna merasa di sepelekan. Buktinya
radja tidak mau melayani tantangan debat-nya. Itu yang ada di pikirannya.
Radja
jadi serba salah. Ia tergugup-gugup berdiri dan mencari cari mata dea. Namun
kini pandangan dea sudah tidak ramah lagi.
‘’Emang
dimana letak kesalahanku?pikirnya.
Dea
berdiri dan berjalan melewati radja. Namun teringat akan sebuah adat timur,dea
masih bisa mengucapkan ‘’hati-hati mas.’’-walau kini tanpa senyum- Dan tinggal
si radja yang menjadi galau di atas sepeda-nya. ‘’benar-benar gadis
berbahaya’’pikirnya.
*
III
Pertemuan yang Membingungkan
Gedung
Aula merdeka bertempat di posisi yang sangat strategis di dalam halim. bertempat
di belakang gedung puskom yang menutupinya dan di kelilingi segala jenis
pepohonan yang rindang. Bahkan akar-akar pohon kapas sangat dekat dengan atap
gedung ini. Jika siang,di sekitar gedung ini ramai di penuhi bintara bintara
muda yang asik bercanda. Kenyamanan dan keteduhan tempat ini memang menarik
perhatian. Namun itu siang,jangan tanyakan ketika malam. Kalau saja tidak karna
ada rapat ini,tak akan ada yang mau berkeliaran di sekitar gedung ini.
Sekitar
pukul 19.15, radja sampai di depan aula merdeka. Di bagian kanan gedung telah
berjejer rapi beberapa sepeda dan mobil jeep
yang biasanya milik para perwira tinggi.
‘’Kenapa
tidak ramai’’pikirnya. Di depan pintu masuk aula berdiri seorang prajurit udara
dan seorang lagi duduk di meja piket dengan buku tulis panjang di hadapannya.
‘’Nama
dan pangkat pak?’’tanya yang berdiri. Kebetulan ini kan bukan di dalam jam
dinas. Jadi rata-rata tamu yang datang hanya mengenakan pakaian sipil.
‘’Sersan
udara Radja putramarhaen dari kesatuan PPP.’’
Lalu,prajurit
yang duduk terlihat memeriksa buku di depannya dan menganggukkan kepala ke
prajurit yang berdiri.
‘’Silahkan
masuk pak.’’ujar si prajurit sambil membuka pintu masuk.
‘’Terlalu
tegang ’’pikir radja.
Ia
melangkah masuk ke dalam ruangan di liputi dengan perasaan kurang nyaman. Ntah
karna baru bertemu si gadis berbahaya atau karna lampu ruangan yang di pasang
dengan watt yang tidak memadai.
Ruangan
aula cukup lebar. Dindingnya di cat berwarna biru lambang kesatuan AURI. Namu
cahaya lampu yang lemah membuat biru yang seharusnya cerah menjadi biru laut
yang mencekam.
Di
bagian terdepan terdapat papan tulis berukuran besar. Duduk menghadap papan
tulis,setiap tamu tanpa suara yang sedang mashuk mendengarkan omongan dari
orang yang berdiri di samping papan tulis. Ia cepat bergegas ke salah satu
bangku besi yang masih kosong. Di sampingnya duduk seorang perwira berkumis yang
sudah cukup di kenalnya. Perwira ini hanya meliriknya sebentar lalu kembali
menatap ke arah papan tulis. Dingin tatapannya.
‘’Maaf
pak,saya terlambat.’’ujarnya sambil duduk.
Si
perwira tidak menjawab,ia hanya menganggukkan kepala tanpa melihat sama sekali
ke arah radja. Sungguh sikap seorang perwira tinggi,ejek radja dalam hati.
Tamu
yang hadir di ruangan itu tidak banyak. Walau tidak bisa di hitung dengan jari
tangan,tapi cukuplah bila di tambah menghitungnya dengan jari kaki.
Hanya
ada 15 orang yang duduk dengan wajah tegang. Satu orang yang tidak pernah di
lihatnya berdiri di samping papan tulis sambil men-dongeng. Sementara dua yang
lain-yang juga tidak ia kenal-duduk tersenyum-senyum di atas meja,di samping
papan tulis. Sangat tidak sopan.
‘’Baiklah
kawan-kawan semuanya. Ada pertanyaan?’’lelaki yang berdiri mengajukan
pertanyaan kepada para tamu dengan gaya yang sangat memuakkan menurut radja.
‘’kawan?’’apa-apaan orang ini?,pikirnya.
Seorang
lelaki setengah baya berdiri dan berbicara dengan aksen yang aneh. Itu Major
udara alex manuhutu. Radja mengenalinya.
‘’kawan
pimpinan. Penjelasan anda sudah cukup rinci. Namun masih ada beberapa rencana
yang terasa ganjal buat kami semua’’ ucap sang perwira dari Maluku ini.
Pikiran
radja yang memang sedang kalut entah karna apa semakin bertambah bingung. Dia
mulai menerka-nerka apa sebenarnya maksud pertemuan ini.
Satu
jam kemudian akhirnya pertemuan selesai.
Radja merasa pusing,tatapannya nanar. Ingin rasanya ia mendatangi si lelaki
sipil bertampang arab itu dan mengajukan sejuta pertanyaan.
Begitu
ganjil percakapan di pertemuan ini pikirnya. Tiba-tiba saja bahunya di tepuk
seseorang. Ia hampir saja melonjak kaget,sebelum ia melihat siapa yang
menegurnya.
‘’Hormat
pak.’’ Ujarnya seketika.
Lelaki
itu adalah major Soedjono. Komandan PPP yang berarti adalah atasannya langsung.
‘’Jadi
kan kau menginap di rumah saya?’’ tampang si penegur tetap dingin walaupun
seharusnya ia menunjukkan tampang ramah karna ia berada dalam posisi si
pengajak.
‘’Siap
pak!’’jawab radja kembali menaikkan tangannya sejajar dengan pelipis. Tanda
memberi hormat.
‘’Baik.
Kita berangkat sekarang. Titip saja sepeda-mu dipuskom. Kita naik mobil saya
saja.’’perintahnya.
Setelah
menitipkan dan menggembok sepedanya di parkiran puskom,radja dan si major
melaju bersama jeep-nya menembus kegelapan malam yang tiba-tiba terasa dingin
di jalan berliku kompleks halim perdana kusuma.
*
IV
Di sebuah Kamar gas beracun
Jam
dinding bergaya abad pertengahan dengan ujung yang meruncing berdentang 1x.
sebuah boneka ayam yang terbuat dari kayu keluar dari sangkarnya dan berkeruyuk
sekali saja. Sangat menarik perhatian radja.
Satu-satunya
barang yang tergolong mewah di rumah ini pikir radja.
Hanya
sebentar saja perhatiannya teralih ke jam dinding pengganggu tidur orang itu.
Ia kembali menurunkan pandangannya ke arah bawah. Ke arah buku tebal bersampul
merah yang sedang terbuka di hadapannya.
Sudah
hampir 2 jam ia membaca buku tebal itu. namun belum ada hal berarti yang bisa
ia ambil. Selama ini Radja memang tidak menyukai ilmu politik.
‘’Sialan.’’
Maki-nya entah kepada siapa. Mataku bisa rabun lama-lama. Sebentar ia
renggangkan tubuhnya sambil berayun di kursi kayu yang ia duduki. Kakinya ia
coba luruskan di bawah meja yang sempit itu.
‘’Bagaimana? Sudah
mengertikah kau betapa berbahaya-nya kolonialisme,imperialisme dan kapitalisme
itu?’’ si major datang dengan cara yang mengejutkan di belakangnya. Untuk
pertama kali ia bisa melihat senyum sang major.
‘’Ya
pak’’jawab radja karna rasa hormatnya.
‘’Jadi,kau
tau apa yang harusnya jendral-jendral borjuis itu dapatkan?
‘’Apa
pak?’’jawab radja pura-pura serius.
‘’Di
gantung di monas! Biar mereka bisa jadi contoh buat orang-orang reaksioner yang
lain!’’kali ini radja melihat wajah sang major berubah menjadi menyeramkan.
Pasti
ini hanya perasaannya saja. Beginikah sepantasnya sikap seorang
prajurit?pikirnya. tapi ada kekaguman yang tiba-tiba tumbuh di dalam dada radja
setelah beberapa jam ia mendengarkan ceramah si major tentang ketidak
adilan-sosial di dalam tubuh semua angkatan perang. Pria ini berjiwa besar,Pikirnya.
Sedingin dan sekejam apapun,ia hanya ingin memperbaiki nasib bangsa ini.
Apa
yang ia katakan dari tadi malam sesuai dengan keadaan. Lihat saja kehidupan
ekonominya. Bandingkan coba dengan kehidupan jendral-jendral borjuis di MBAD.
Seperdetik
kemudian ada rasa malu yang menampar-nampar hatinya. ‘’aku harus
serius’’pikirnya. Dia atasanku. Sumpah sapta marga saja mengharuskan aku
mengikuti segala perintahnya,apalagi di tambah dengan niat dan jalan hidup-nya
yang lurus. Ini adalah lelaki hebat! Radja tersenyum dengan tulus kepada sang
major. Namun senyuman ini membuat si major menunjukkan perasaan jijik. Lalu
mereka tertawa berbarengan.
‘’Orang
yang berbicara di aula tadi siapa pak?’’ radja mencoba memanfaatkan keadaan si
major yang sedang sumringah untuk bisa menjawab segala pertanyaan yang ada di
kepala-nya.
‘’Akhirnya
kau bertanya juga’’kali ini sebuah senyuman ke-dua dari si major,syah telah
mencairkan suasana hingga matahari muncul beberapa jam lagi.
‘’Dia
itu anggota biro chusus dari PKI’’ jawab si major.
Mata
sebelah kiri radja bergerak tanpa di perintah. Ini adalah salah satu tanda atau
bahasa tubuh khas radja ketika ia mengalami kaget yang luar biasa.
PKI!Partai
Komunis Indonesia! Si perusuh madiun. Si pembunuh ayah dan abang,mungkin juga
si pembunuh ibu,atau mungkin juga si pembunuh semua ternak ayam di
kampung,pembunuh kerbau-kerbau, dan pasti mereka juga yang membunuhi ikan-ikan di
sungai. Ah. Kenapa harus berurusan dengan PKI lagi? batin radja benar-benar
bagai terkena serangan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Saking kagetnya ia tak
bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Ia
tersadar,lalu membuka buku yang ada di genggamannya. V.I Lenin si penulis buku.
‘’Apa yang harus kita lakukan’’judul tebal di halaman pertama.
Ya,ini
dia. Si lenin. Si botak dari moskow itu. pemimpin komunis uni soviet yang sudah
mampus!
Major
soedjono yang mengamati perubahan sikap salah satu anggota-nya itu langsung
tersadar dan mencoba mengingat-ingat. Ya,akhirnya ia ingat,anak ini kan anak
yang di bawa kolonel soegeng dari jogja. Yang keluarganya tewas di bantai FDR/PKI.
Pantas saja ia kelihatan traumatik. Namun ia prajurit hebat,karirnya
cemerlang,aku harus merubah pola pikirnya perlahan-lahan.batin si major.
‘’kau
mau kopi?” si major mencoba mengalihkan perhatian radja.
‘’oh,
tidak usah pak’’ radja mencoba mengendalikan diri.
‘’yakin
tidak apa-apa’’?
‘’insya
allah yakin pak’’
‘’hahaha.
Ya sudah’’saya ke kamar sebentar ucap si major.
Sialan,dia
mentertawakan insyaallah-ku. Dasar kafir!atheis!maki radja dalam hati.
Ia
menggerutu selama beberapa detik sebelum si major kembali lagi sambil membawa
sebuah kotak aluminium berpelitur warna emas.
‘’ini
cerutu dari negara saudara kita. Kuba!havana!fidel castro itu saudara angkat
bapak kita. Jadi beliau harus kita anggap sebagai bapak kita juga.’’
Sikap
dan kelakuan sang major benar-benar berubah di waktu menuju pagi ini. Seperti actor
film konyol pikir radja. Akhirnya mereka berdua asik menghisap dan
menghembuskan asap dari cerutu kuba itu.
wajar saja jika seluruh ruangan kamar tamu yang sempit itu berubah bentuk
seakan menjadi kamar pembantaian penuh gas beracun yang di siapkan sang mega
bintang hitler kepada ras yahudi. hingga membuat radja terbatuk-batuk. Manusia memang
mempunyai sifat dasar penyuap dan di suap sejak ia di lahirkan. Tidak bisa di
pungkiri.
Radja
yang beberapa menit lalu bertekad untuk tidak mengindahkan segala ucapan si
major kini terlihat tertawa cekikikan bersama sang major. Entah apa saja yang
telah mereka bahas. Sementara itu,matahari telah terbangun dari tidurnya dan
menyoraki sang bulan untuk segera pergi menjauh. Suara adzan dari surau
terdekat pun mengumandangkan panggilan sang tuhan yang esa agar hambanya selalu
mengingatnya. Malam berakhir,pagi pun datang, 2 bulan lagi kita menuju ke
sebuah peristiwa yang paling menggegerkan bangsa ini.
*
V
Engkau Nas-A-atau Kom?
Hari
ini mungkin akan menjadi salah satu hari terindah bagi radja. Setelah
bertahun-tahun memendam impian di dalam kamar tidurnya,kini, ia sedikit
melangkah maju menuju impian tersebut. Semalam,kolonel soegeng mengabarkan
padanya,bahwa anak gadisnya yang sedang tumbuh mekar-mekarnya itu ingin mencari
buku di toko buku merdeka yang berada di sekitar jalan medan merdeka. agak di
pojok lapangan merdeka dan tidak jauh dari markas besar AURI.
Entah
karna setan apa, si gadis yang berkuliah di depok dan selalu pulang setiap
akhir pekan ini tiba-tiba tidak di izinkan bepergian sendirian hari minggu
besok. ‘’Firasatku tidak enak’’keluh sang kolonel kepadanya. Tentu saja radja
langsung menawarkan dirinya dengan wajah bersemi kepada ayah angkatnya ini.
Dan
memang itulah sebenarnya alasan sang kolonel datang ke rumah radja. Radja sudah
seperti abang kandung si gadis mekar. Hanya radja lah lelaki yang saat ini bisa
di percaya pikir sang kolonel.
‘’aku
heran mas. 6 hari aku tinggal di depok ndak apa-apa. Eh,ke lapangan merdeka
yang deket gini kok di cemasin ya.’’keluh si gadis saat mereka duduk ber-istirahat
di bawah pohon akasia di samping toko buku.
Radja
enggan menjawab. Dia sedang asik menikmati sebuah anugrah tuhan yang tersaji di
depan matanya. Mari,kita perkenalkan gadis ini dahulu.
Namanya
Aidha soekmawati. Cukup di panggil ai saja. Gadis ini tergolong gadis yang
bertubuh tinggi. Tidak gemuk,sedikit kurus,cocoklah dengan tinggi badannya.
Kulitnya kuning langsat tanpa cacat. Jika sepintas di lihat,ia seperti memiliki
darah orang arab. Mungkin karna hidungnya yang bangir dengan tulang hidung
bagian atas yang tinggi. Bibirnya tipis kemerahan,namun ia punya senyum lebar
yang kadang menggelikan untuk di lihat. Alisnya cukup tebal untuk ukuran seorang
wanita. Dan matanya,matanya yang teduh dengan bulu mata-nya yang tebal-lah yang
telah meluluhkan hati radja. Ada garis hitam di bawah matanya,terlihat
mencolok,mungkin karna kecapaian atau kurang tidur.
Ai,
sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia. Ia memilih fakultas
kedokteran yang memang sedang nge-TOP di mana-mana. Ia selalu merasa dirinya
pintar. Namun tidak buat radja,ia terlalu polos. Ia sering tidak menyadari jika
ia sedang di bohongi. Sebutan orang Pintar bukan hanya untuk orang-orang yang memenangkan
sebuah pelajaran berhitung saja. Orang pintar adalah orang yang berwawasan luas
dan memahami filsafat kehidupan. Menurut radja.
‘’ai,aku
dengar dari ayah,kau sudah masuk organisasi kampus ya?sedang sibuk-sibuknya di
sana,HMI pula,benarkah?’’radja berbicara tanpa melihat ai.
mungkin
ia sedang meniru tingkah laku Actor film nekolim yang pernah di tontonnya.
‘’ya
mas. Orangnya asik asik mas. Baik-baik’’
‘’tapi
yang mas dengar,di mana-mana HMI sedang bersitegang dengan CGMI,Nanti kau
kenapa-kenapa bagaimana?
‘’di
kedokteran,CGMI tidak maju mas. Lah mereka kan anak-anak kaum proletar,gimana
mau kuliah di sana?’’ejekan ai barusan akan menyakitkan hati orang-orang
komunis jika mereka mendengarnya. Tapi anehnya,radja tidak menemukan tampang
orang yang sedang menghina di wajah ai.
‘’tapi
orang-orang GMNI terlihat memusuhi kami. Dasar komunis.’’lanjut ai polos.
‘’lah,GMNI
kan dari golongan nas, kok ai bilang mereka kom? Tanya radja sungguh-sungguh.
‘’Sama
saja mas. Nas sama kom itu. sama-sama merah kan benderanya.’’sebuah jawaban
yang sangat picik pikir radja.
‘’Siapa
yang bilang seperti itu ai?’’
‘’Senior-senior
di kampus lah mas’’ jawab ai sumringah.
Mendengar
kata senior di ucapkan dengan wajah seperti itu membuat perasaan radja
bergejolak. Mata kirinya berkedut. Cemburu?ah,masa gara-gara itu cemburu
pikirnya. Atau mungkin aku memang tidak menyukai golongan A?apa racun pak djono
sudah merasuki darahku?pikiran radja bekerja ekstra keras untuk menjawabnya.
‘’kenapa
mas?’’jangan bilang mas sudah jadi kom ya’’ai menggoda sambil mencubit pinggang
radja.
Radja
terpekik dan berusaha menghindar,lalu ia berlari ke dalam toko buku yang
menjadi tujuan utama mereka. Ai tersenyum-senyum memandanginya dari jauh.
Toko
buku itu tidak terlalu besar. Namun raknya yang terbuat dari kayu mahoni di
susun rapat dengan buku yang padat. Sang penjaga yang berumur kira-kira
setengah abad dengan kacamata minus itu mendatangi mereka berdua. Menanyakan
buku apa yang mereka cari dan segera pergi ke dalam sebuah ruangan. Tak lama ia
datang membawa sebuah buku tebal bersampul buruk dan menyerahkannya kepada ai.
‘’akhirnya
dapat juga mas. Ah senangnya’’senyum lebar menggelikan itu muncul juga
akhirnya.
‘’ikhwanul
muslimin?hassan al banna?’’ Tanya radja berbasa basi sambil melirik sampul
buruk dari buku itu,sebenarnya ia tidak peduli buku apapun yang di beli ai. ia
hanya ingin kebersamaan ini tak pernah berakhir.
‘’iya
mas, pergerakan PAN-muslimin. Ada senior-ku yang mencari buku ini sejak
lama.’’jawab ai sambil menatap sendu ke arah radja.
‘’brengsek!sialan!setan
alas!hantu blau!bangsat!segala macam makian meledak juga akhirnya. Namun tidak
sampai keluar,hanya di dalam hati-nya saja. Lagi-lagi senior!senior! dasar HMI
brengsek!
‘’setelah
ini kita langsung pulang kan?’’tanya radja dengan bibir yang hampir tak
bergerak.
‘’ayuk
ayuk!’’jawab ai tak merasa berdosa sedikitpun.
Setelah
membayar di kasir,mereka berjalan berdampingan menuju ke pelataran parkir.
Namun ada yang ganjil jika orang melihat pasangan ini. Yang satu berjalan dengan
dada membusung namun berwajah masam dan satunya lagi berjalan riang dengan
tangan melambai-lambai di udara. Matahari sore yang sedang terik-teriknya
mengiringi kepulangan mereka ke halim. Ternyata ini bukan hari yang indah,batin
radja menjerit.
*
VI
Jika revolusi menang
Semua
manusia pasti memiliki tokoh yang di kagumi dan berusaha mereka tiru,setitik
pun itu. baik musisi,sastrawan,pelukis,olahragawan,bahkan tokoh politik. Dan di
masa saat revolusi sedang berkobar-kobar seperti sekarang,tokoh-tokoh politik
menjadi subjek yang paling laku untuk di jadikan idola.
Di
desa lubang buaya,tempat berkumpulnya para relawan dan aktivis segala macam
partai-terutama sayap kiri- ini pun sedang di ributkan oleh ocehan-ocehan para
relawati yang saling sibuk membanggakan tokoh idola-nya.
‘’Ketua
Aidit dong nduk,sudah orangnya revolusioner,ngganteng lagi. Jenenge kae istrine?? ’’ Jerit seorang
perempuan gendut yang sedang berkumpul sambil gresek-gresek menjahit seragam buat para relawan.
‘’ah,klo
aye tetep lek nyot mbok’’jawab gadis bertelinga caplang. ucapannya langsung di
serbu gemuruh cemoohan dari mulut mulut berbau tak sedap itu.
‘’pagemana kalo jendral dani?’’mereka
terkikik lagi.
‘’kalau
kowe siapa nduk?’’tanya si gendut kepada se-sosok gadis ayu yang dari tadi diam
saja tanpa ekspressi.
Si
gadis mendongak dan sibuk menelengkan kepalanya ke sana kemari. Ia seakan
meminta pertolongan dari wanita-wanita yang lain agar ia tidak di bawa-bawa
dalam masalah ini.
Karna
bingung,gadis itu kalut dan berlari keluar dari perkemahan menjahit. Beberapa
wanita langsung berdiri dan menyusul si gadis. Sementara si gendut menjadi
bulan-bulan’an rombongan wanita yang tetap duduk.
‘’kowe cari masalah ya yem?’’sembur wanita
yang terlihat paling tua. Di sela bibirnya terselip daun berwarna hijau
kemerah-merahan.
Si
gendut iyem bungkam seribu bahasa.
‘’kowe lupa? Si mila iku kan pernah di buntingin
orang. Lah mau tentara,polisi,hansip,lah terserah. Pokoke dia bunting. Lupa kowe yem?’’
‘’Nah.
Gara-gara bunting itu kan si mila gagal kawin. Calon suaminya yang dulu kan
sekarang jadi orang penting PKI yem. Kowe
lupa yem?’’
Si
gendut iyem tertunduk diam. Ia tidak bermaksud menyindir mila. Ya,karna memang
pendidikan kurang sajalah dia secara tidak sadar telah menyindir si mila.
Di
depan pintu masuk perkemahan yang terbuat dari kain berwarna hijua telah
berdiri seorang wanita berusia akhir 20’an. Dia melangkah cepat kearah iyem.
‘’dasar
kau!sudah sering kau di peringatkan supaya jangan banyak omong! Tapi tetap
saja. Mesti bagaimana lagi supaya kau sadar bahwa mulut kau itu beracun!hah!’’
wanita galak itu berdiri di depan iyem sambil menunjuk-nunjuknya.
Iyem
dan semua wanita yang ada di situ terpekur menontoni
lantai. Terus begitu sampai si wanita galak itu pergi.
‘’haduh,tuh
kan yem,laen kali ati-ati ya’’wanita tertua akhirnya membuka mulut merah-nya.
‘’Mbak
peni iku kan pejuang Gerwis yem. Dia
bareng konco-konco’e orang pinter
yem. Jadi apa yang dia bilang mesti bener. Nah,kowe patuhin itu.’’
Mulut
si tua Bangka ini memang menyebalkan,tapi iyem tidak berpikir seperti itu. iya
meng-amini apa apa yang telah di ucapkan si tua Bangka itu. si gendut iyem hanyalah
gadis desa yang kurang pendidikan.
Di
balik pohon karet tergemuk di desa lubang buaya dan di samping rumah haji
kisroen yang berdinding tepas dan beratap jerami terdapat sederetan bambu yang
di tempelkan di antara celah kosong dua pohon karet yang masih muda.
Bambu-lincak- ini di tempelkan oleh dipa dan kawan-kawan’nya atas permintaan
mbak peni.
Mbak
peni sering duduk sendirian di lincak itu sambil membaca buku-buku tebal yang
bisa di gunakan-nya pula untuk melempar kepala anjing liar sampai mati. Tapi
kali ini mbak peni tidak sendirian,dan tidak juga sedang membaca buku tebal. Kali
ini ia bersama mila duduk di lincak
itu. sedangkan dipa bersandar di pohon karet tergemuk atas perintah mbak peni.
Maksudnya jikalau mbak peni atau mila butuh apa-apa,mereka bisa langsung
menyuruh si dipa. Ya,dipa memang sudah di kenal dilubang buaya ini dengan
sebuah nama julukan. Ajudannya mbak peni.
‘’Sudah
nduk. Lelaki itu tidak akan menjadi
penting jika kita,para perempuan bisa menjadi orang penting. Inget itu nduk. Jadi jangan pernah bosan untuk
belajar.’’ Sambil berbicara seperti itu,ujung mata mbak peni melirik ke tempat
berdirinya si dipa. Tidak enak juga kalau terdengar olehnya.
‘’kita
nduk, sebenarnya lebih punya hak
untuk membuat lelaki berada di bawah kaki kita. Ya karna itulah ada istilah
surga di telapak kaki ibu kan nduk?
Pernah dengar kan nduk? Mbak peni
menunuduk untuk mencari mata basah si mila.
‘’Nanti
nduk. Jika revolusi kita menang melawan
nekolim dan kita di tempatkan di pemerintahan,kita buat undang undang untuk
menguatkan harkat feminisme. Gimana nduk?
‘’nanti
kita cari itu si anwar,kita suruh dia menjilatin kaki kamu nduk.’’ Mbak peni
terkikik dan memeluk-meluk tubuh si mila yang kurus. Lalu tangannya sibuk
memperbaiki poni mila yang awut-awutan.
‘’tapi
Gerwani kan bawahannya PKI mbak,gimana caranya si anwar bisa tunduk sama kita
mbak?anwar kan orang penting PKI.’’mila mulai tertarik untuk berbicara akibat
nama anwar di bawa-bawa.
‘’siapa
yang bilang nduk? Ibu ummi dan yang
lain memang dekat dengan PKI,dekat dengan pak nyoto,tapi semata-mata ya karna
tujuan dan cita-cita yang sama. Memang sih ada niatan berafiliasi dengan PKI di
kongres ke lima nanti. Tapi masih banyak perdebatan kok. Jadi untuk apa kita memusingkan
hal yang belum terjadi?iya ga nduk?’’
Kali
ini mbak peni menusuk-nusuk pipi mila dengan jarinya. Tidak bertahan
lama,pertahanan mila pun jebol.ia tersenyum lalu balas mencubit pinggang mbak
peni. Mereka berdua terkikik kikik seperti sepasang kuntilanak yang sedang
bermain-main.
Apa
mereka nganggep gue hantu ye?ga keliatan ye? Dipa mendongkol karna di cuekin.
Lama-lama kebosanannya memuncak. Ia mengendap-ngendap dan berlari sekuat tenaga
ke arah perkemahan relawan pemuda rakyat yang berjarak beberapa ratus meter
dari tempat mereka. Mbak peni yang terlambat menyadari,langsung berdiri dan
mendelikkan matanya yang bulat seperti kucing. Namun ia kembali duduk dan
tersenyum kepada mila. ‘’seperti itulah lelaki’’ selalu kabur jika perempuan
sudah menjadi kuat’’ katanya. Mereka berdua berdiri. Menatap mentari sore yang
cahaya-nya samar-samar menembus di antara celah pepohonan karet yang rindang.
Hari yang tenang di tempat yang ‘’masih” tenang.
*
VII
Pergi kau!
‘’Om
dengar kau lagi mesra-mesranya dengan mayor soedjono. Benar?’’
Sudah
lebih dari dua minggu sejak pertemuan aneh di aula merdeka. Radja semakin rapat
dengan major soedjono. Hampir setiap malam radja menginap di rumah sang major.
Dan sudah dua kali mereka berjalan-jalan ke luar halim di hari libur. Namun tak
ada satu manusia pun di halim yang tau kemana mereka pergi.
Kolonel
soegeng tau,ada orang-orang PKI yang sering bertandang ke halim. Dan major
soedjono lah tuan rumah penyambut orang-orang PKI itu. kabarnya.
Walaupun
PKI adalah musuh angkatan darat,namun tidak bagi sebagian perwira AURI.
‘’Selama cita-cita dan tujuan kita tetap sama,tetap membela Manipol-usdek,tidak
ada satupun instansi yang perlu di musuhi.’’ Itulah komentar jendral omar dani,
sang MENPANGAU yang harus di setujui oleh semua penghuni halim. Termasuk
dirinya. Namun kolonel soegeng merasa,telah lama,PKI yang berciri partai
internasional ini adalah sesuatu yang berbahaya. Ada maksud tersembunyi dari
PKI untuk dapat mengendalikan bung karno. Aidit terlalu dekat dengan RRT dan
Nyoto terlalu dekat dengan Soviet,perlahan-lahan kita akan menjadi budak peking
dan moskow pikirnya.
‘’Pak
djono kan atasan saya di kesatuan om. Apa salahnya jika..’’
kolonel soegeng yang terkenal galak dan keras kepala langsung
memotong ucapan radja.
‘’kalau
itu yang memberatkanmu,om akan minta kepada pak leo wattimena untuk memindahkan
kau dari kesatuan PPP.’’ Baru kali ini setelah sekian lama ia tinggal di
djakarta,ia melihat om soegeng mendelik kepadanya.
‘’Sebentar
lagi, Soedjono dan kawan-kawannya itu akan melakukan kudeta untuk membuat
Negara kita jadi budak moskow atau peking!om yakin!tapi selama saya masih hidup,saya
dan semua perwira pancasila-is akan mati-mati’an melawannya.’’ Amarah kolonel
benar-benar memuncak kali ini.
‘’Tapi
Nasution dan dewan jendral-nya juga bisa membawa kita menjadi budak amerika
om.’’ Entah darimana keberanian radja tiba-tiba muncul. Ia tidak merasa gagap
menyebut nama MENHANKAM tanpa embel-embel ‘’pak’’.
‘’Siapa yang
mengajarkanmu berbicara seperti itu?!! pasti PKI!!pak Nas tidak seperti yang kalian tuduhkan!!’’kolonel terduduk di
sofa sambil memegangi dada-nya. Wajahnya meringis kesakitan. Nafasnya terlihat
sulit untuk di keluarkan dari perutnya yang besar.
Radja
kaget dan langsung menghampiri si kolonel. Di-pijit-pijitnya pundak si kolonel.
‘’Maaf
om. Maaf. Bukan maksud radja..’’
‘’Diam
kau bocah tak tau di untung!kalau kau mau menjadi komunis,’’ nafasnya
tersenggal.
‘’Pergi
kau dari rumah ini!’’lanjutnya sambil menggeser dan menghentak-kan tubuhnya
menghindari tangan radja yang memegangi pundaknya.
Radja
terpaku karna kaget. Tak terasa pipi-nya menjadi hangat karna di basahi oleh
air mata. Ia tertunduk lesu. Tak pernah di bayangkan-nya ada kejadian seperti
ini menimpanya. Ia tau selama om soegeng sama sekali tidak dekat dengan PKI.
Tapi ia tak menyangka om soegeng begitu membenci PKI. Ah,Andaikan ia tak pernah
bertemu dengan om soegeng,ia pasti kini sudah menjadi mayat kelaparan di dalam
got-got kota jogja. Betapa berdosanya ia membuat om soegeng seperti ini. ingin ia
menyatakan-sekarang-bahwa ia bukan,atau belum menjadi komunis. Karna memang ia
belum memahami apa itu marxisme. Selama
ini major soedjono hanya mengajarkan-nya untuk membenci Amerika dan the local army friends-nya. Dia juga
bukan,atau belum menjadi kader resmi PKI. Jadi bagaimana mungkin ia bisa di
sebut komunis atau PKI?
Ia mengerti, apapun yang ia ucapkan sekarang,tidak akan ada
efeknya sedikitpun terhadap pendirian om soegeng. Ia telah lama tau bagaimana
ke-keras kepala’an om-nya itu dalam menghadapi hal apapun.
‘’Pergi.
Biarkan om tenang dahulu’’. Besok atau lusa masih ada waktu untuk berbicara
dengan om lagi pikirnya.
Tante
minah keluar dari kamar dan langsung berlari histeris memeluk om soegeng. ‘’inget
jantungmu mas’’ katanya. Sementara lik sarti sibuk tergopoh-gopoh masuk ke
ruang tamu sambil membawa segelas air putih. Radja berjalan menjauh dari sofa
tempat om soegeng terkapar, lirikan mata dari tante minah mengisyaratkan agar
radja segera pergi. Tapi ada rasa pengertian di balik mata tante-nya itu. radja
berjalan mundur dengan tatapan haru ke arah om-nya.
Sementara si om mencuri-curi pandang untuk bisa melihat
kepergian pemuda yang sudah di anggap anak-nya sendiri itu. tangisnya meledak.
Ia sesungguk-kan merasa tidak rela karna berpikir prajurit ke-sayangan-nya itu
telah menjadi PKI. Ia merasa akan kehilangan radja selama-lama-nya.
Hujan yang mengguyur ibu kota sejak pagi sudah mulai reda.
Seakan akan kran air di atas langit sedang mengalami penyumbatan. Ia hanya
turun setetes demi setetes. Walaupun sang hujan telah berhenti mengganggu para
pejalan kaki di kota,namun sisa sisa anugrah-nya buat kaum marhaen di pedesaan
yang sedang di landa ke-keringan itu menciptakan gangguan baru untuk para
pejalan kaki di kota.
Radja putramarhaen. Si anak yatim piatu yang kini telah menjadi
kapten udara Republik Indonesia itu pun ikut tergang-gu oleh sisa-sisa sang
hujan. Sepeda-nya tidak bisa berjalan pulang ke dalam kompleks rumahnya akibat
jalan utama menuju ke sana hancur lebur menjadi lumpur. Keadaan semakin parah
akibat ketidak pedulian seorang perwira yang menaiki jeep dan menggasak jalan
utama tersebut. ‘’Sudah seperti kubangan kerbau’’ ucap salah seorang perwira
yang juga tidak bisa menjalankan sepeda-nya. ‘’1 atau 2 jam’an lagi mungkin
sudah keras itu tanah.’’ Ujar si perwira.
Radja memutar sepedanya dan melaju ke arah berlawanan.
Pertengkaran dengan om soegeng tadi membuatnya ingin segera bertemu dengan major
soedjono. Ia ingin memastikan tentang rumor kudeta yang sedang di persiapkan
PKI,Seperti tuduhan om soegeng tadi. Ke-akraban yang telah terjalin selama ini
membuat radja tidak segan lagi untuk bertanya apa saja kepada pimpinan
kesatuannya itu.
Hanya butuh sekitar 15 menit bersepeda dari halim menuju ke desa
lubang buaya. Major soedjono di tunjuk menjadi piminan komando relawan-relawati
di sana.
ia hampir seharian selalu berada di sana. Jadi mudah saja buat
siapa pun yang ingin bertemu dengan-nya.
Radja melaju-kan sepeda-nya dengan kecepatan tinggi. Mungkin
karna gejolak di dalam kepala-nya untuk segera mengetahui apa yang akan terjadi
antara PKI -si partai terbesar yang mengaku memiliki puluhan juta simpatisan-dengan
sekumpulan Perwira tinggi Angkatan darat yang tertuduh sebagi dewan jendral.
Tepat di depan perkemahan pertama ia berhenti dan menjatuhkan
gazelle-nya begitu saja di samping sebuah pohon karet. Ia bertanya di mana
keberadaan major soedjono kepada salah seorang relawan yang mengaku berasal
dari pemuda rakjat. Radja berjalan menyelimpir
dari balik semak-semak menuju ke pangkalan latihan tembak sesuai petunjuk dari
si pemuda rakjat. Di sana ia melihat 3 kelompok yang berdiri di tiga tempat
yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari pemuda berusia 15 sampai 19 tahun
yang semuanya sedang mengikuti arahan seorang prajurit yang sedang mengajari
mereka baris berbaris. Kelompok ke-dua berada jauh di atas bukit berbatu.
Kelompok itu campur aduk antara laki-laki dan perempuan. Mereka kelihatan
sedang mengamati beberapa kawannya yang sedang berusaha menembak tepat ke
target sasaran yang terbuat dari jerami berbentuk manusia. Dan kelompok ke tiga
sedang duduk-duduk di depan sebuah kemah seperti sekelompok santri yang sedang
mendengar ceramah dari ustad-nya. Semua pemuda-pemudi yang ada di sana
mengenakan seragam hijau yang sudah berubah warna karna bekas lumpur. Banyak
yang menggantung-kan senapan Tjung di pundaknya. Tapi banyak juga yang tidak.
Yang pasti keseragaman mereka yang paling mencolok terletak di syal merah yang
di sampirkan di leher mereka. Radja menyipitkan matanya untuk mencari
keberadaan si major. ternyata si penceramah di kelompok ke tiga lah orang yang
ia cari-cari.
‘’Pak ada yang ingin saya bicarakan’’ ucapnya sambil menghormat
ketika ia telah berada di belakang major soedjono.
‘’Tentang apa?’’ucap si major tanpa menoleh. Sekilas mata major
meliriknya.
‘’Tentang Kudeta PKI’’ bisiknya.
Major soedjono menghembuskan nafas keras-keras. Rahang-nya
bergeretak keras. Tampak emosi memendar di wajah si major.
‘’Apa maksudmu?nanti malam saja’’ ucapnya berbisik dengan urat
leher yang menegang.
Radja yang berada dalam keadaan kalut lupa kalau ia hanya
seorang bawahan dari major soedjono. Ia melakukan sebuah gerakan yang di
artikan memaksa oleh si major. “pak, tapi’’ katanya. Si major yang sedang
berdiri di hadapan para relawan-relawati mengganggap ini sebuah penghinaan.
Sebuah pukulan keras melayang tepat ke pipi sebelah kanan radja. Ia terhuyung
ke belakang namun masih bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Radja syok
luar biasa. Mata kirinya berkedut kuat. Pandangannya mengabur. Sosok major yang
menyenangkan selama ini berubah wujud menjadi sesosok iblis tanpa wajah.
‘’Pergi kau dari sini!’’ bentak si major.
Radja mulai gelagapan. Keberaniannya terperosok hingga ke-titik
yang paling rendah. Ia seakan melihat para relawan-relawati berbisik
terkikik-kikik menghina-nya. Langit-langit seakan mengurung ruang geraknya.
Panas matahari yang muncul di setiap selesainya hujan seakan hanya bersinar ke
arahnya. Ah.panas,sakit,malu yang di rasakannya.
Sebuah sepakan keras menghantam tepat di dadanya. Ia jatuh
terjengkang ke belakang. Nafasnya memburu. Ia segera bangkit berdiri. Hitam.
Hanya warna hitam berbayang yang kini ia lihat di sekeliling. Ia berlari cepat
menuju ke arah cahaya yang ia cari dan ia temukan berada di bawah perbukitan. Di
sebuah semak di samping perkemahan pertama.
*
VIII
‘’Go
to the hell with your aid!’’
Radja membuka mata-nya yang sembab. Semalaman ia berada White
bar. Sebuah bar di dalam hotel Indonesia yang berdiri menjulang dan megah di
tengah-tengah kota Djakarta. Seandainya saja ada penduduk halim yang mengetahui
keberadaannya di sini,celaka-lah ia. Bisa saja ia langsung di pecat atau malah
di tembak mati oleh perwira-perwira revolusioner yang wajar saja bila berpikiran
bahwa ia adalah mata-mata C.I.A.
White bar memang terkenal dengan sebutan Bar kaum kapitalis.
Selain para pekerja konsulat,bar ini juga di penuhi oleh wartawan dari segala
penjuru dunia yang sedang memburu berita di Negara yang paling menjadi
fenomenal di duna internasional saat ini. Apalagi setelah Presiden soekarno
dengan ber-api-api mengecam Amerika dengan kata-katanya yang sangat terkenal. ‘’Go to the hell with your aid!’’.
Sementara itu,Ketegangan di ibu kota juga telah berlangsung
berbulan-bulan antara PKI dan ‘’musuh-musuhnya’’. Aksi massa yang hampir selalu di kawal dan diprovokasi oleh para pemuda
rakjat dan CGMI ini berlangsung hampir setiap hari.
Ada saja yang mereka tuntut. Ada saja yang ingin mereka
bubarkan. Setelah sukses mengganyang pasukan Manikebuis pimpinan Hb Jassin, mereka juga sukses membubarkan
BPS-nya sajuti melik .
Mereka lalu merusuh dengan menyerang rumah para personil band
koes-bersaudara yang mereka anggap sebagai perusak generasi muda karna masih
tetap ngeyel memainkan musik ngak-ngik-ngok yang terang-terang sudah
dilarang oleh Presiden.
Dan kemarin,yang paling hangat, mereka melakukan Razia besar bersama ratusan polisi
Jakarta raya terhadap penerbit,pengusaha percetakan,penyalur buku,majalah,film,dan
piringan hitam yang berhubungan dengan atau tentang Amerika.
Dan yang paling harus di ingat,bahwa pemuda-pemudi inilah yang bisa di bilang sebagai pemicu awal ledakan
emosi antara PKI dengan Jendral-jendral angkatan darat ketika mereka mengaku
menemukan sebuah dokumen tentang rencana kudeta yang sedang di siap-kan oleh
C.I.A dengan menggunakan tangan kawan-kawan
jendral di angkatan darat. Dokumen itu di temukan di rumah duta besar Cekoslovakia.
Namun kelakuan ganjil mereka malah menimbulkan
simpati besar di kalangan warga ibu-kota. Warga banyak yang ber-anggapan bahwa
apa yang mereka lakukan seutuhnya demi mengemban ajaran-nya bung karno dan
menyelamatkan Soekarnois-me. Namun bukan Soekarnoisme ecek-eceknya BPS.
‘’Hei bung. Sepertinya aku pernah melihatmu’’ seorang pemuda
kurus yang mengenakan kaca mata tebal menghampirinya.
Radja sama sekali tidak mengacuhkan-nya. Ia hanya melirik
sekilas.
‘’Kau ini yang menemani Ai ke toko buku merdeka kan?’’kali ini
ia duduk di kursi kosong di depan meja-nya. Ia merokok dan menyilangkan
kakinya. Sungguh kurang ajar sikapnya.
‘’kenalkan. Aku senior ai di kampus’’ ujarnya sambil menjulurkan
tangan.
Radja tetap tertunduk dan mempermainkan gelas kaca kosong di depannya.
Berarti dia dari HMI’’pikirnya. Namun buat apa dia di sini? Radja mencoba
menahan emosi di dada-nya. Ya,iya selalu emosi bila mendengar nama HMI dan
senior. Ntah kenapa.
‘’Aku radja. Aku abang ai.’’ ucapnya tanpa menyambut uluran
tangan si HMI.
Wajah si HMI tiba-tiba berubah menjadi cerah. ‘’abang?oh. aku
kira’’ ahahaha.
‘’sialan. Kenapa si brengsek ini tertawa’’pikir si radja kesal.
Tidak perlu di jawab sebenarnya ia sudah bisa menebak kenapa si HMI ini
tertawa. Tapi ada yang mengganjal di kepala radja. Kenapa dia ada di sini?buat
apa?lalu kenapa kami bisa bertemu?kebetulan?tidak mungkin batinnya.
Si HMI kemudian menjelaskan kepada radja bahwa ia adalah anak
dari seorang pekerja di kedubes belgia untuk Indonesia. Sebuah map si ayah
tertinggal di rumah tadi pagi sebelum berangkat kerja. Jadi mereka janjian
untuk bertemu di sini. Lega lah kini perasaan radja. Sebelumnya ia menyangka si
HMI ini mata-mata C.i.A atau paling tidak adalah mata-mata AURI yang sedang
mencarinya. Ah,pikiran konyol. Siapa sih dia?sampai di sediakan mata-mata untuk
mencari-nya?Betapa kalutnya pikiran-nya sekarang. Si HMI lalu berpamitan untuk
mengejar sebuah pertemuan di depok. Di dekat kampusnya. Ia kini sedang magang
di rumah sakit Angkatan darat,itulah sebabnya ia bisa singgah ke hotel
Indonesia. ‘’boleh aku ikut? ada surat dari ayah yang ingin aku sampaikan
kepada ai.’’ujar radja berbohong. Ia tak tau lagi mesti kemana sekarang. Rasa
takut kepada major soedjono dan om soegeng membuat ia ingin menghindar dari
halim untuk sementara waktu. Ia tau apa yang bakal ia terima nanti. Ia pasti di
anggap prajurit yang desersi. penurunan pangkat atau malah pemecatan telah
menunggunya di halim. tapi ia tak takut. Ada kengerian melebihi pemecatan yang
tak bisa ia jelaskan muncul di hatinya saat ini. Ia butuh waktu untuk menyendiri dan beristirahat yang tidak mungkin bisa ia
dapatkan di halim. ‘’dipa masih bisa tinggal di rumah om soegeng.’’pikirnya.
ah. Betapa tidak enaknya menjadi dewasa.
Mereka berdua berboncengan dengan sepeda motor menuju depok.
Setelah kejadian pemukulan dilubang buaya,radja sempat pulang ke rumah untuk
berganti pakaian. Namun saat itu ia belum berpikir untuk kabur dari halim. oleh
karna itu ia hanya mengenakan pakaian yang menutupi badannya tanpa membawa
satupun pakaian ganti. Masa bodoh pikirnya. Sewaktu di jogja saja ia tidak
berganti pakaian selama berbulan-bulan kok. Kenapa sekarang aku mesti takut.
Di sepanjang jalan Mahakam perjalanan mereka terganggu akibat
aksi massa yang sedang di lakukan oleh pemuda rakjat yang bergabung dengan CGMI
Djakarta raya. Aksi massa ini sedang menyiapkan tuntutan agar segera di
bubarkannya HMI di seluruh Indonesia dan penangkapan segera kepada pejabat-pejabat
yang di curigai sebagai bagian dari gerombolan GAS(Gerakan anti Soekarno).
Mereka bergerak cepat seperti badai yang menyapu daratan. Wajah
si HMI memucat karna takut. Ia selalu takut ketika berhadap hadapan dengan mahasiswa-mahasiwa
dari CGMI.
Panasnya matahari yang membakar Djakarta tidak mengendurkan
semangat para pemuda. Malah sepertinya memberikan energy baru untuk merusak.
Si HMI meminggirkan sepeda motornya di jajaran rumah toko yang
seakan bergetar akibat teriakan marah para pemuda. Segerombolan pemuda
mengenakan baret merah dan memakai pakaian hitam-hitam mendekati mereka.
‘’Mau kemana lu lu pade?’’
bentak seorang pemuda memble berwajah
bopeng.
Dengan tenang radja menjawab ‘’Mau ke Jalan duri. Mau ke rumah kawan sudisman. Ada masalah kawan?’’
Lelaki bopeng itu melumerkan wajah garangnya. Sambil tersenyum
menunduk ia meminta maaf dan bergegas pergi bersama gerombolannya.
‘’Aku bukan PKI. Aku hanya berbohong agar mereka tidak
mengganggu kita’’ ujar radja kepada si HMI tanpa di tanya. ‘’jangan takut’’
sambung si radja.
Kata-kata itu tidak cukup kuat untuk meyakinkan si HMI. Walau ia
mengangguk dan tersenyum.
Di sepanjang perjalanan berikutnya si HMI lebih banyak diam. Ia
mulai berhati-hati untuk mengobralkan cerita cerita-nya kepada radja.