NOVEL PERTAMA_KU Bagian 7 ''pergi kau!''



                VII

Pergi kau!

‘’Om dengar kau lagi mesra-mesranya dengan mayor soedjono. Benar?’’
Sudah lebih dari dua minggu sejak pertemuan aneh di aula merdeka. Radja semakin rapat dengan major soedjono. Hampir setiap malam radja menginap di rumah sang major. Dan sudah dua kali mereka berjalan-jalan ke luar halim di hari libur. Namun tak ada satu manusia pun di halim yang tau kemana mereka pergi.
Kolonel soegeng tau,ada orang-orang PKI yang sering bertandang ke halim. Dan major soedjono lah tuan rumah penyambut orang-orang PKI itu. kabarnya.
Walaupun PKI adalah musuh angkatan darat,namun tidak bagi sebagian perwira AURI. ‘’Selama cita-cita dan tujuan kita tetap sama,tetap membela Manipol-usdek,tidak ada satupun instansi yang perlu di musuhi.’’ Itulah komentar jendral omar dani, sang MENPANGAU yang harus di setujui oleh semua penghuni halim. Termasuk dirinya. Namun kolonel soegeng merasa,telah lama,PKI yang berciri partai internasional ini adalah sesuatu yang berbahaya. Ada maksud tersembunyi dari PKI untuk dapat mengendalikan bung karno. Aidit terlalu dekat dengan RRT dan Nyoto terlalu dekat dengan Soviet,perlahan-lahan kita akan menjadi budak peking dan moskow pikirnya.

‘’Pak djono kan atasan saya di kesatuan om. Apa salahnya jika..’’
kolonel soegeng yang terkenal galak dan keras kepala langsung memotong ucapan radja.
‘’kalau itu yang memberatkanmu,om akan minta kepada pak leo wattimena untuk memindahkan kau dari kesatuan PPP.’’ Baru kali ini setelah sekian lama ia tinggal di djakarta,ia melihat om soegeng mendelik kepadanya.
‘’Sebentar lagi, Soedjono dan kawan-kawannya itu akan melakukan kudeta untuk membuat Negara kita jadi budak moskow atau peking!om yakin!tapi selama saya masih hidup,saya dan semua perwira pancasila-is akan mati-mati’an melawannya.’’ Amarah kolonel benar-benar memuncak kali ini.
‘’Tapi Nasution dan dewan jendral-nya juga bisa membawa kita menjadi budak amerika om.’’ Entah darimana keberanian radja tiba-tiba muncul. Ia tidak merasa gagap menyebut nama MENHANKAM tanpa embel-embel ‘’pak’’.
‘’Siapa yang mengajarkanmu berbicara seperti itu?!! pasti PKI!!pak Nas tidak seperti yang kalian tuduhkan!!’’kolonel terduduk di sofa sambil memegangi dada-nya. Wajahnya meringis kesakitan. Nafasnya terlihat sulit untuk di keluarkan dari perutnya yang besar.
Radja kaget dan langsung menghampiri si kolonel. Di-pijit-pijitnya pundak si kolonel.
‘’Maaf om. Maaf. Bukan maksud radja..’’
‘’Diam kau bocah tak tau di untung!kalau kau mau menjadi komunis,’’ nafasnya tersenggal.
‘’Pergi kau dari rumah ini!’’lanjutnya sambil menggeser dan menghentak-kan tubuhnya menghindari tangan radja yang memegangi pundaknya.

Radja terpaku karna kaget. Tak terasa pipi-nya menjadi hangat karna di basahi oleh air mata. Ia tertunduk lesu. Tak pernah di bayangkan-nya ada kejadian seperti ini menimpanya. Ia tau selama om soegeng sama sekali tidak dekat dengan PKI. Tapi ia tak menyangka om soegeng begitu membenci PKI. Ah,Andaikan ia tak pernah bertemu dengan om soegeng,ia pasti kini sudah menjadi mayat kelaparan di dalam got-got kota jogja. Betapa berdosanya ia membuat om soegeng seperti ini. ingin ia menyatakan-sekarang-bahwa ia bukan,atau belum menjadi komunis. Karna memang ia belum memahami apa itu marxisme.  Selama ini major soedjono hanya mengajarkan-nya untuk membenci Amerika dan the local army friends-nya. Dia juga bukan,atau belum menjadi kader resmi PKI. Jadi bagaimana mungkin ia bisa di sebut komunis atau PKI?
Ia mengerti, apapun yang ia ucapkan sekarang,tidak akan ada efeknya sedikitpun terhadap pendirian om soegeng. Ia telah lama tau bagaimana ke-keras kepala’an om-nya itu dalam menghadapi hal apapun.
‘’Pergi. Biarkan om tenang dahulu’’. Besok atau lusa masih ada waktu untuk berbicara dengan om lagi pikirnya.
Tante minah keluar dari kamar dan langsung berlari histeris memeluk om soegeng. ‘’inget jantungmu mas’’ katanya. Sementara lik sarti sibuk tergopoh-gopoh masuk ke ruang tamu sambil membawa segelas air putih. Radja berjalan menjauh dari sofa tempat om soegeng terkapar, lirikan mata dari tante minah mengisyaratkan agar radja segera pergi. Tapi ada rasa pengertian di balik mata tante-nya itu. radja berjalan mundur dengan tatapan haru ke arah om-nya.
Sementara si om mencuri-curi pandang untuk bisa melihat kepergian pemuda yang sudah di anggap anak-nya sendiri itu. tangisnya meledak. Ia sesungguk-kan merasa tidak rela karna berpikir prajurit ke-sayangan-nya itu telah menjadi PKI. Ia merasa akan kehilangan radja selama-lama-nya.

Hujan yang mengguyur ibu kota sejak pagi sudah mulai reda. Seakan akan kran air di atas langit sedang mengalami penyumbatan. Ia hanya turun setetes demi setetes. Walaupun sang hujan telah berhenti mengganggu para pejalan kaki di kota,namun sisa sisa anugrah-nya buat kaum marhaen di pedesaan yang sedang di landa ke-keringan itu menciptakan gangguan baru untuk para pejalan kaki di kota.
Radja putramarhaen. Si anak yatim piatu yang kini telah menjadi kapten udara Republik Indonesia itu pun ikut tergang-gu oleh sisa-sisa sang hujan. Sepeda-nya tidak bisa berjalan pulang ke dalam kompleks rumahnya akibat jalan utama menuju ke sana hancur lebur menjadi lumpur. Keadaan semakin parah akibat ketidak pedulian seorang perwira yang menaiki jeep dan menggasak jalan utama tersebut. ‘’Sudah seperti kubangan kerbau’’ ucap salah seorang perwira yang juga tidak bisa menjalankan sepeda-nya. ‘’1 atau 2 jam’an lagi mungkin sudah keras itu tanah.’’ Ujar si perwira.

Radja memutar sepedanya dan melaju ke arah berlawanan. Pertengkaran dengan om soegeng tadi membuatnya ingin segera bertemu dengan major soedjono. Ia ingin memastikan tentang rumor kudeta yang sedang di persiapkan PKI,Seperti tuduhan om soegeng tadi. Ke-akraban yang telah terjalin selama ini membuat radja tidak segan lagi untuk bertanya apa saja kepada pimpinan kesatuannya itu.

Hanya butuh sekitar 15 menit bersepeda dari halim menuju ke desa lubang buaya. Major soedjono di tunjuk menjadi piminan komando relawan-relawati di sana.
ia hampir seharian selalu berada di sana. Jadi mudah saja buat siapa pun yang ingin bertemu dengan-nya.
Radja melaju-kan sepeda-nya dengan kecepatan tinggi. Mungkin karna gejolak di dalam kepala-nya untuk segera mengetahui apa yang akan terjadi antara PKI -si partai terbesar yang mengaku memiliki puluhan juta simpatisan-dengan sekumpulan Perwira tinggi Angkatan darat yang tertuduh sebagi dewan jendral.

Tepat di depan perkemahan pertama ia berhenti dan menjatuhkan gazelle-nya begitu saja di samping sebuah pohon karet. Ia bertanya di mana keberadaan major soedjono kepada salah seorang relawan yang mengaku berasal dari pemuda rakjat. Radja berjalan menyelimpir dari balik semak-semak menuju ke pangkalan latihan tembak sesuai petunjuk dari si pemuda rakjat. Di sana ia melihat 3 kelompok yang berdiri di tiga tempat yang berbeda. Kelompok pertama terdiri dari pemuda berusia 15 sampai 19 tahun yang semuanya sedang mengikuti arahan seorang prajurit yang sedang mengajari mereka baris berbaris. Kelompok ke-dua berada jauh di atas bukit berbatu. Kelompok itu campur aduk antara laki-laki dan perempuan. Mereka kelihatan sedang mengamati beberapa kawannya yang sedang berusaha menembak tepat ke target sasaran yang terbuat dari jerami berbentuk manusia. Dan kelompok ke tiga sedang duduk-duduk di depan sebuah kemah seperti sekelompok santri yang sedang mendengar ceramah dari ustad-nya. Semua pemuda-pemudi yang ada di sana mengenakan seragam hijau yang sudah berubah warna karna bekas lumpur. Banyak yang menggantung-kan senapan Tjung di pundaknya. Tapi banyak juga yang tidak. Yang pasti keseragaman mereka yang paling mencolok terletak di syal merah yang di sampirkan di leher mereka. Radja menyipitkan matanya untuk mencari keberadaan si major. ternyata si penceramah di kelompok ke tiga lah orang yang ia cari-cari.

‘’Pak ada yang ingin saya bicarakan’’ ucapnya sambil menghormat ketika ia telah berada di belakang major soedjono.
‘’Tentang apa?’’ucap si major tanpa menoleh. Sekilas mata major meliriknya.
‘’Tentang Kudeta PKI’’ bisiknya.
Major soedjono menghembuskan nafas keras-keras. Rahang-nya bergeretak keras. Tampak emosi memendar di wajah si major.
‘’Apa maksudmu?nanti malam saja’’ ucapnya berbisik dengan urat leher yang menegang.
Radja yang berada dalam keadaan kalut lupa kalau ia hanya seorang bawahan dari major soedjono. Ia melakukan sebuah gerakan yang di artikan memaksa oleh si major. “pak, tapi’’ katanya. Si major yang sedang berdiri di hadapan para relawan-relawati mengganggap ini sebuah penghinaan. Sebuah pukulan keras melayang tepat ke pipi sebelah kanan radja. Ia terhuyung ke belakang namun masih bisa menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Radja syok luar biasa. Mata kirinya berkedut kuat. Pandangannya mengabur. Sosok major yang menyenangkan selama ini berubah wujud menjadi sesosok iblis tanpa wajah.

‘’Pergi kau dari sini!’’ bentak si major.
Radja mulai gelagapan. Keberaniannya terperosok hingga ke-titik yang paling rendah. Ia seakan melihat para relawan-relawati berbisik terkikik-kikik menghina-nya. Langit-langit seakan mengurung ruang geraknya. Panas matahari yang muncul di setiap selesainya hujan seakan hanya bersinar ke arahnya. Ah.panas,sakit,malu yang di rasakannya.
Sebuah sepakan keras menghantam tepat di dadanya. Ia jatuh terjengkang ke belakang. Nafasnya memburu. Ia segera bangkit berdiri. Hitam. Hanya warna hitam berbayang yang kini ia lihat di sekeliling. Ia berlari cepat menuju ke arah cahaya yang ia cari dan ia temukan berada di bawah perbukitan. Di sebuah semak di samping perkemahan pertama.

                                                                    *

Categories: Share

Leave a Reply