NOVEL PERTAMA-KU Bagian 1'' Dari madiun ke lubang buaya''
“kita ber-revolusi pung-pung kita masih muda,
kalau sudah tua buat apa.”
I
Dari madiun ke lubang buaya.
Cukup
jauh juga jarak antara
desa lubang buaya dengan lapangan
lubang buaya yang biasanya dijadikan dropping
zone untuk latihan penerjunan prajurit-prajurit AURI. Apalagi jika di
tempuh hanya dengan berjalan kaki. melewati jalan pondok gede,lalu masuk ke
kawasan halim. Bisa juga sih di tempuh dengan menyusuri pinggiran kali
sunter,tapi ga di jamin bisa sampai atau tidak.
Inilah jarak yang setiap hari di tempuh oleh Dipa Negara. Anak lelaki
berusia 15 tahun yang saban hari pergi ke desa lubang buaya untuk mengikuti latihan
tempur bersama teman-temannya. Mereka
mengikuti sebuah proyek politik yang sedang di galang oleh paduka yang mulia
Soekarno dalam rangka persiapan 20 juta relawan-relawati untuk menghadapi
konfrontasi dengan bangsa bangsa Nekolim di ujung pulau kalimantan.
Dipa memiliki seorang
abang yang menjadi prajurit udara dan menempati sebuah rumah sederhana di
kompleks perumahan pasukan pertahanan pangkalan(PPP). Karna itulah, setiap dipa
selesai perang-perang’an ia lalu berjalan cepat ke dalam halim untuk pulang ke
rumah si abang.
‘’gimana latian tadi dik? Apa pemuda-pemuda Anshor
sudah ikut ber-gabung?’’ sang abang langsung mencocornya dengan pertanyaan.
‘’belum juga aye duduk,udah nyerocos lu bang,capek
banget ni.’’ Dipa nyelonong masuk ke rumah,lalu buru-buru membuka baju dan
celana katunnya.
‘’aye,mau berak
dulu ye bang!’’teriak dipa sambil berlari.
Sang abang hanya menggeleng-gelengkan kepala-nya. namun
di paksakannya juga untuk tersenyum. Dipa adalah keluarga satu-satunya yang
kini ia miliki. Keluarga mereka secara turun temurun berasal dari solo. Namun kemudian
sang ayah mendapat tugas baru untuk menjadi mantri di madiun. Mereka sekeluarga
pun ikut pula ke sana. Tentunya. Ketika terjadi affair madiun 1948,mereka
segera kabur ke Jogyakarta. Tapi tidak
lengkap,karna sang ayah dan abang tertua sudah lebih dulu menjadi tumbal amarah
pasukan Front demokrasi Rakyat(FDR)/PKI. Seharusnya mereka tidak perlu di
korbankan jika saja sang ayah tidak ikut petantang
petenteng bersama se-gerombolan kyai kaya pemilik tanah untuk mengangkat
golok dan mencaci maki kamerad musso di madiun.
Di awal tahun 1950,sang
ibu menikah lagi dengan seorang prajurit ngganteng
mantan pasukan KNIL yang di tahun 1948 ikut pula dalam pasukan siliwangi
dalam agresi menghajar tentara merah di madiun. Si ngganteng yang sekarang sudah menjadi letnan kolonel Angkatan Darat
itu lalu memboyong ibu ke Djakarta. Di sana si ibu berhasil melahirkan seorang
anak. Si Ibu keturunan ninggrat keraton solo,jadi pastilah ia berwajah ayu,bila
di campurkan dengan si ngganteng yang
memang ganteng,bisa di bayangkan keturunan mereka pasti berhasil. Karna itulah tadi kita sebut si ibu berhasil melahirkan seorang anak,lelaki pula.
‘’dik,siap makan malam,pergi kau ke rumah om sugeng ya.
Tidur saja kau di sana.’’ Si abang berteriak dari balik kamarnya.
‘’eh,eh,emang napa?kagak boleh gue nginep di sini
lagi?’’kepala dipa nongol dari balik pintu kamar mandi.
‘’heh!punya mulut di jaga! Aku ada rapat nanti malam
di luar,lebih baik kau menginap di rumah om daripada sendirian di sini.’’si
abang keluar kamar dan memakai sepatunya.
‘’ah,kagak dah. Elu pergi aja sono. Gue sendirian juga
kagak papa,kagak takut gue ama ape-ape.
Percuma gue udah jadi prajurit sekarang’’dipa terkikik dan menyoraki si abang
dari dalam kamar mandi.
Si abang sudah malas menjawabi kata-kata badung
adiknya itu. ia berdiri dengan muka berkerut dan nyelonong keluar tanpa
mengucapkan apa-apa lagi. Ia sudah hafal peringai adik-nya. Ntah dari mana
ke-keras kepala’an-nya datang. Apalagi semenjak ia bergabung dengan teman-teman
barunya di lubang buaya,eh,sudah pula dia berlagak menjadi anak jakarte dengan logat betawinya.
Di halaman rumahnya yang sempit dan di penuhi daun
mangga kering yang mati terpanggang matahari, Ia menaiki sepeda-nya yang
tergeletak lesu di sana dan di kayuhnya cepat-cepat gazelle buatan belanda-nya
itu.
Hari sudah mulai me-ng’emas,daun-daun cemara yang
berjatuhan dan menutupi jalan membuat paduan keindahan alam semakin semarak.
Di tambah lagi aroma tubuh yang baru selesai mandi
membuat alam fikir-nya melayang kemana-mana.
Sempat ia membayangkan tubuh sang gadis anak kolonel
yang di idam-idam kannya selama ini,namun khayalan indahnya bubar ketika ia
ingat akan jam tangan rolexx peninggalan sang ayah yang tertinggal di rumah.
‘’sialan’’ makinya dalam hati. Ia menghentikan sepedanya,melihat ke
belakang,lalu kembali mengayuh sepedanya lagi. ‘’ah,sudahlah’’ pikirnya. Dia
malas bertemu dengan adik-nya yang badung itu. Sekarang ia terpaksa melupakan
bayangan gadis idamannya,karna wajah sang adik terlihat menjulurkan lidah dan
terkikik-kikik di dalam kepalanya.
Ia jadi teringat,saat ia berusia 10 tahun-lah ia di tinggalkan oleh ibunya di
jogja. Sementara sang ibu bersenang-senang dengan prajurit ngganteng-nya,ia harus berkeliling kota menjadi pengemis.
Memang,ia di tinggal-kan sang ibu di rumah adik
perempuan dari ayahnya. Namun di masa awal pembentukan R.I yang serba sulit
itu,sang bibi pun tak mampu mengurus ke lima anaknya,bahkan sekedar memberi
makan. Apalagi di tambah dengan kehadirannya. Maka,Selama berbulan-bulan ia
berkeliling untuk mengemis atau mengais sisa-sisa nasi di pinggiran alun-alun kota
jogja. Namun nasibnya berubah 180 derajat ketika ia bertemu dengan seorang
major udara yang sedang bertugas di jogja. Ia lalu di jadikan kacung dan
penuntun sang major selama berada di jogja. Sikapnya yang baik dan jujur
membuat sang major menyukai-nya. Saat sang major akan pulang kembali ke
Jakarta,ia di ajak turut serta dan di janjikan untuk bisa menjadi prajurit
udara. Alangkah senang hati-nya.
Major itu kini telah menjadi kolonel udara dan
bertempat tinggal di dalam kompleks halim juga. Terlalu banyak hutang budinya
kepada mantan major itu. Sang Kolonel jugalah yang mengatur jalan agar ia bisa
menjadi seorang prajurit AURI,hingga sekarang ia telah mendapat pangkat Sersan
udara di usia-nya yang baru 25 tahun. Sebuah karir yang gemilang tentunya.
Kini ia telah sampai di jalan ber-kerikil di sekitar
kantor PUSKOM,dan melihat beberapa prajurit sedang berlari-lari sore dengan
gembira. Ia melambaikan tangannya kepada mereka.
‘’duluan ya mas’’ katanya sambil tersenyum.
Ah,setiap ia melewati daerah ini,ia jadi teringat
kembali dengan sang ibu. Ya,sang ibu namun tanpa lelaki ngganteng di sisinya. Sang ibu yang kuyu,dan pucat, dengan seorang
anak kecil berdiri malu-malu dan selalu bersembunyi di sisinya. Dan di hari itu
lah untuk terakhir kalinya ia bertemu dengan ibunya,ibunya yang akan menyusul
si ngganteng ke sumatera barat untuk
ikut pemberontakan PRRI dan mati di tumpas oleh kolonel yani dan pasukan
elit-nya,mungkin.
Ia yang waktu itu masih berumur 17 tahun merasa tidak mengerti apa yang harus ia lakukan
terhadap ibunya. Kemudaan usia dan rasa rindunya membuat ia membunuh sampai
mati rasa dendam kepada sang ibu. Di tambah lagi kehadiran sang kolonel yang
baik hati-namun keras kepala- di sampingnya. Maka syah-lah,mulai hari itu ia
memiliki seorang adik yang akan menjadi tanggungan ia selamanya,hal yang sangat
menyusahkan sebenarnya. Apalagi di usianya yang baru belasan. Namun tuhan
membuktikan tidak ada yang mustahil di dunia ini jika ia berkehendak. Dan
kehendak itu berubah bentuk menjadi seorang lelaki yang biasa di panggilnya om
soegeng itu. Ya,mulai hari itu juga,sang bocah kecil itu di angkat anak oleh om
soegeng. Maka,pergilah sang ibu dengan ketenangan jiwa yang tak-akan mungkin
bisa di lukiskan dengan apapun,apalagi jika hanya melalui cerita ini saja.
Lalu ia
tinggal menatap punggung lemah sang ibu
dari kejauhan,dan tanpa sadar ia menitikkan air mata,air mata yang ia sendiri
tak tau kenapa bisa mengalir. lalu cepat-cepat ia seka air mata itu karna rasa
malunya kepada om soegeng dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kenapa mesti
malu? Ia pun tak tau.
*